Search This Blog

Friday, April 29, 2011

Sutra Biru "3

Namanya Heidi Puspita. Cewek yang hobi sekali membaca zodiak. Orangnya lincah dan banyak omong, ada saja bahan obrolannya. Ntah benar atau salah apa kata zodiak, dia tidak peduli. Just for fun, katanya.
Heidi sejak kuliah terobsesi dengan jurnalistik. Selain dia suka menulis panjang lebar tentang sesuatu yang menarik minatnya, dia juga suka tantangan sebagai seorang reporter. Dia juga rela memulainya ketika ditempatkan di Bandung, yang juga kota favoritnya.
Sebenarnya isu-isu politik menarik minatnya, tapi ntah mengapa Pemrednya lebih suka hasil liputannya yang berhubungan dengan sosial budaya. Termasuk liputan on air nya yang mengangkat berita-berita kebebasan dikalangan kaum muda kota Bandung. Kadangkala ia memberikan liputan eksklusif. Nah, aku salah satu korbannya. Tapi ntah mengapa, aku selalu saja tidak bisa menolak permintaannya.
Acara gaul anak muda, musik dan akting,dan tema-tema kehidupan malamnya menjadi kekuatan tersendiri bagi pendengar Radio Funtastic FM yang baru berdiri 3 tahun ini.
Stood out yellow umbrella as Sutra was waiting

Pertemuanku dengan Hed dimulai 5 tahun lalu saat ia reportase tentang tempat-tempat ngumpul terfavorit di Bandung. Kami bertemu di depan Plaza Dago. Kawasan ramai dengan mojang dan bujang Bandung yang cihuy dan stylish. Jagung bakar dan colenaknya menghangatkan suasana malam. Belum lagi konser-konser live band anak muda, dari yang coba-coba sampai yang sudah kondang dan go international. Dahulu kafe-kafe tendanya seperti mawar mekar kala siang berganti malam.Tapi jangan salah, kawasan ini juga pernah dipakai longmarch seluruh mahasiswa Bandung pada peristiwa 1998. Saat jatuhnya mantan Presiden Soeharto yang sempat berjaya selama 32 tahun di Indonesia. Walau sudah jatuh namun efeknya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme masih sulit dihapuskan dari bumi Indonesia. Kesannya, pembangunan yang ada hanya sebatas fisik semata.
Saat itu hujan deras, tepat jam empat sore, hari sabtu. Aku mau malam mingguan. Hed dengan jas hujannya, kepala tertutup rapat, pakai kacamata John Lennon berwarna kuning, sepatu kets putih yang terlihat kotor berlumpur. Dalam hatiku berkata, pasti dia bakal repot deh harus mencuci sepatu sekotor itu. Dibuang saja kali. Merokok pula. Kemudian kutahu itu jenis mentol mild. Dia berjalan kearahku sambil menghisap rokoknya terburu-buru. Dengan tinggi hampir 170cm, aku kira dia cowok. Sama sekali tak terlihat feminin, apalagi attraktif. Memang tomboi sih dia.
Sekitar 5 meter di depanku, kulihat jari-jarinya yang lentik panjang menjepit rokok, terkesan feminim. Lalu dia menyapaku dengan kata-katanya yang terdengar konyol.
“Mas, boleh nebeng payungnya ga?”
“Oh ya, silahkan,” jawabku.
“Mas, hujan deras begini nekat sekali pakai baju dan celana panjang kuning. Mana rambutnya mengkilat lagi. Dari jauh seperti patung lilin yang bergerak.”
“Apa?” aku kaget dengan keterus terangannya. Atau kekurang ajarannya?
“Eh...oh...maaf....! Sekarang celananya jadi kotor tuh.” Dia semakin cerewet menurutku. Phwww.
Huh, dasar cewek cerewet. Peduli apa dia? Aku memang baru keluar dari Yospie Salon. Seorang klienku yang nyentrik memintaku berbusana dan berdandan necis begini. Semua dari A sampai Z yang aku kenakan ditubuhku adalah inisiatifnya, termasuk barang-barang pilihan dan pemberiannya. Si Nyonya Marleen, berdarah indo, baru cerai dari suaminya yang setahun terakhir hanya ketemu 3 kali. Di dalam sedannya, dia menungguku menyeberangi jalan Dago saat itu.
Pertemuan sore itu sangat singkat. Ketika Hed menyinggung pakaianku, aku hanya bilang aku mau ke party dan ini dress code yang aku harus kenakan. Langsung setelah itu ia mengeluarkan kartu namanya dan menyatakan kalau dia tertarik meliput macam-macam dress code dalam pesta-pesta serta apa makna di belakangnya. Aku dengan kaget menerima kartu nama tersebut karena tidak aku sangka ternyata dia orangnya, yang suka cas cis cus dalam acara radio tentang anak muda di kota Bandung secara live, yang sering aku dengar di radio Funtastic FM. Ohhooo...ternyata dia! Penyiar Heidi Puspita yang suara dan gaya siarannya akrab ditelingaku.

                                                            ** Continue to part 4 **

Sutra Biru "2


 Ya...halo Hed...,” sapaku.
Sutra yang halus nan tampan, jangan marah dong. Dari tadi siang aku coba hubungi kamu, tapi mailbox terus. Aku khawatir tentang kamu,” Heidi merayu.
Wuihh...gombal! Tapi tetap saja aku tertawa kecil mendengarnya.
Ah, bohong. Pasti ada maunya nih. Ayo cepat bilang. Aku sudah ngantuk berat. Aku perlu stamina fit besok.”
OK, aku mengerti. Kamu sibuknya siang-siang juga ya...?” Heidi menggodaku dengan suaranya yang digenit-genitkan. Huh sebal.
Heidi please......hhhhuuuaaaaaahhhhh.....” aku menguap. Ini sudah jam dua pagi.
Baiklah. Besok malam minggu aku mengundangmu jadi special guest ku jam 10. Bisa datang ke kantorku kan? Bisa ya? Aku pikir, kamu narasumberku yang terpercaya untuk acara Gaul Malam di radioku. Kebetulan temanya persis seperti pengalaman atau pekerjaan yang kini kamu geluti. Dulu kamu pernah janji suatu saat nanti kamu mau menjadi tamuku. You owe me, my dear Sutra”
Tapi besok malam aku ada klien, Hed,” seperti biasa aku menyapanya cukup pendek Hed. “Rekaman saja ya? Kamu kan tahu, malam minggu aku ga bisa diganggu.”
Oh, jangan dong. Kan kamu juga harus berinteraksi langsung dengan pendengar. Nanti aku kasih bonus deh,” janji Hed.

Aku panggilkan Beny saja deh. Dia biasanya off malam minggu. Hari pacaran sungguhan katanya. Dia lebih pakar lho dari aku,” aku masih berusaha menolak ajakannya.
No! Sulit lho mendekati orang-orang berprofesi kamu. Aku ga ada waktu buat pendekatannya. Aku percaya kamu. Mau dong? Aku ga bisa tidur nih malam ini sebelum kamu bilang Yes.
Aku berpikir sejenak. Kalau aku menyanggupi permintaannya, berarti ada jadwal klien yang kubatalkan. Tapi aku selalu...sekali lagi...ga tega menolak permintaannya. Ini juga membuatku bingung. Kami memang bersahabat dekat, suka curhat maupun bercanda. Akhirnya kukabulkanlah keinginannya.
Besok pagi ya aku beri jawabannya, lagipula aku harus manjadwal ulang janjiku kan?”
Baiklah. Maaf sudah mengganggumu malam ini. I rely on you, buddy.
Akhirnya kami akhiri malam ini dengan tidur pulas hingga pagi.

** continue to part 3 **

Sutra Biru "1


Aku baru saja mematikan komputer setelah full dua jam chattingdengan orang-orang penting yaitu klien-klienku. Obrolan awal dilayar internet tadi adalah ‘style’ bagi kami untuk membuat janji ketemu, menentukan waktu sekaligus tempatnya, serta hal-hal lain yang perlu dibicarakan di muka. Selain menjaga hubungan tetap lancar, bagi sebagian calon klien baru, chatting membuat kedekatan emosi mereka terhadapku semakin kuat.
Hari ini begitu melelahkanku. Walaupun aku sudah minum doping, ntah mengapa aku masih merasakan lelah teramat sangat. Padahal hari ini aku hanya bertemu dua wanita. Yang satu masih muda, mahasiswi. Yang satunya sudah setengah baya. Tapi menemani mereka berdua benar-benar membuatku lelah. Selain momen kami berdua, masih juga harus menemani mereka jalan-jalan keliling mall. Hah...begitulah. Aku harus bersabar hati dan tetap ceria buat mereka yang sudah royal membayar kehadiran dan pelayananku.
Kini...di dalam kamarku yang adem dan nyaman, kubaringkan badan yang lunglai ini. Damainya terasa di hati. Jam sudah menujukkan hampir jam dua. Menjelang pagi. Namun tak lama kemudian....
Lagu Advertising Space-nya Robbie William memecah keheningan kamarku yang berukuran 4x4 meter itu. Segera ku sambar HP ku di dekat bantal tidur. Sambil tiduran, menatap langit-langit kamar yang terkesan tenang dengan cat biru melapisi dinding kamar tersebut, aku menerima telepon yang baru saja berdering. Aku lihat dulu, siapa yang masih sudi menggangguku dimalam buta begini. Dengan mata ngantuk, kubuka locked HP ku. Ahhaa...aku sunggingkan senyum ku. Walaupun bicara melalui HP, tapi dianjurkan orang tersebut berbicara sambil tersenyum. Begitulah tips yang kubaca disebuah majalah ibukota tentang tatacara menelpon dengan baik karena senyum dapat memberikan energi positif dalam sikap dan cara kita berbicara, walau tidak langsung melihat orangnya.

Hhmmmm.....
Aku yang memang mempesona banyak kaum wanita siap-siap mengeluarkan jurusan andalanku: suara merdu dan penuh nada romantis, menjawab sang nyonya. Walaupun saat itu menjelang tengah malam dan aku mulai merasa lelah.
Ya, betul sekali. Tante tahu saja. Pasti suka gosip ya?”
Ah kamu. Sudah lupa kali sama saya. Saya sudah tidak sabar ingin ketemu kamu lagi. Lha, kemarin kita chat berdua, wah saya dilupain nih?”
Oh, ini pasti tante Marsha. Besok kita ketemu di tempat biasa ya? Rodena Palace?,” itu tempat favorit kami berjumpa, namun aku segera menutup mulutku karena aku sudah mulai mengantuk berat. Hhhuuuaaaaahhhh...bisnis satu ini tidak mengenal waktu, gerutuku dalam hati.
Setengah jam percakapan yang akrab terjalin diantara kami berdua. Setelah itu, aku langsung tertidur. Zzzzzz....aku terlelap. Namun baru 15 menit terlelap, Robbie William, ringtone HP ku, menggangguku lagi. Kali ini bukan dari mami girang yang haus kasih sayang menelponku di tengah malam, melainkan dari sobat kentalku, Heidi Puspita.
Gadis tomboy ini menggangguku malam-malam begini?
Sutra, wake up!” suara Heidi terdengar lantang bak kerontang kaleng kosong dihening malam seperti ini.
Heidi, kamu gila ya? Makanya stop jadi reporter! Emangnya ada perang apa? Malam-malam gini ngalahin Vivi Aleida Yahya saja.”
Vivi itu penyiar sebuah stasiun TV berita terkenal di negeri ini. Orangnya cantik, suaranya berat. Walau aku jarang menonton berita, namun setiap mendengar berita di TV tersebut, kok selalu tepat ketika mba Vivi yang sedang membacakan berita. Sampai aku ingat namanya.
Liputan malam baru saja selesai!” sahutku penuh emosi. Ingin rasanya kuadukan ia ke redakturnya biar dipecat saja reporternya yang satu ini. Aku sering jadi korbannya. Aku pikir, ketika tidurpun ia sedang merencanakan topik liputan apa yang bakal dia bawakan kesokan harinya. Sudah pasti. Ga pagi atau malam buta, bisa-bisa dia menelponku untuk sekedar menanyakan apakah idenya tentang suatu topik layak atau tidak untuk disiarkan. Hah? Memangnya dia bayar aku berapa untuk konsultasinya yang datang pas kalongpun sedang terbang mencari mangsa, alias tengah malam buta. Huuhh...dipecat saja wartawan satu ini!

Tapi aku tidak tega membiarkan handphoneku berdering terus, yang ku tahu itu dari dia. Akhirnya ku jawablah dengan suaraku yang serak mengantuk ini. 
** Bersambung part 2 **

(This story was once sent for Sayembara Cerbung Femina, 2009)