Search This Blog

Tuesday, May 3, 2011

Sutra Biru "5

       Dua hari lalu, seorang teman memperkenalkanku dengan seorang wanita cantik, kaya dan anggun. Namun dia sedang kalut karena hidupnya terasa hampa. Suaminya terlalu sibuk dengan segala urusannya. Anak-anaknya sudah besar semua dan mandiri. Ia sendiri bosan dengan teman-temannya yang suka ngumpul untuk bergosip, arisan barang-barang mewah, yang menurutnya tidak membawa dia pada kedamaian yang ia cari. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membahagiakannya. Nah, temanku tadi mengenalkanku padanya untuk menemani si nyonya anggun tersebut. Namun, ia memiliki obsesi pada yang kuning-kuning. Dia ingin bertemu denganku pertama kali dan menjemputku di depan Plaza Dago dengan syarat aku memakai kostum kuning. Apapun yang aku kenakan ditubuhku dan apapun yang kubawa harus berwarna kuning terang dan kuning polos.
Walaupun aku sering bertemu orang-orang dengan kunikan-keunikan yang aneh, tapi warna kuning ini benar-benar menarik perhatian orang lain disekitarku, di bawah hujan deras pula. Aku sadari itu. Tapi inilah pekerjaanku, memenuhi kemauan orang lain dan membuatnya merasa seperti raja atau ratu. I give my personal service.

Itulah awal persahabatan kami. Sejak itu, Heidi tidak pernah bercerita tentang aku lagi (tentang orang lain sih, peduli amat). Aku tersenyum. Padahal banyak penggemarnya yang memintanya bercerita tentang cowok itu lagi.
Si Darwein, teman yang digantikannya, sempat mogok bicara dengannya gara-gara banyak penggemarnya meminta Heidi kembali mengudara pagi hari. Namun pak Daniel Santoso, direkturnya, terkesan dan memujinya. Dia memberikan bonus voucer belanja di Plaza Mogahari yang terkenal itu. Lalu dia mengajakku dan meminta maaf padaku. Saat itu aku merasa ia dapat menjadi sahabatku karena aku tidak punya banyak teman, apalagi seorang sahabat.

Waktu itu, seperti biasa seakan-akan dua sejoli, setiap jam 11 siang, hari minggu, aku menjemputnya di kosnya jalan Tubagus Ismail. Ia sebagai anak kos dan aku yatim piatu. Persahabatan yang terjalin diantara kami sangatlah berharga.
“Hebat ya, kamu sudah punya rumah sendiri,” Hed menungkapkan kekagumannya atas hasil pekerjaanku selama empat tahun ini. “Sempat kuliah lagi...jurusan apa?”
“Diploma. Manajemen.”
“Bagus juga.”
“Kamu kan tahu aku sudah tidak punya keluarga lagi. Sejak ortu meninggal, keluarga besarku mulai menjauh. Aku tidak punya kakak atau adik. Bahkan rumah peninggalan ortu diambil alih sama pamanku,” curhatku ke Hed.
“By the way, aku rasa, secara materi kamu sudah mapan. Jadi ada niat mau pindah profesi ga?” dia penasaran.
Heidi memang berharap aku segera hidup dan bekerja normal. Tidak seperti sekarang, dengan ketampanan dan daya tarikku, aku menjadi penghibur bagi siapapun yang menyewaku. Walau sampai saat ini, aku masih menjaga hubungan yang baik dengan semua ex-pelangganku. Dia pernah mengajakku membuka usaha bersama, namun aku masih saja menolaknya secara halus.
Aku selalu bisa bicara terbuka dengannya setelah beberapa waktu kedekatan kami sebagai sahabat. Tidak ada yang aku sembunyikan dari dia, kecuali satu hal.
Call me Alicia. 
“Heidi...Heidiku yang cantik. Kamu terus terang banget ya orangnya? Jujur sih aku capek juga kerja begini. Khawatir kena penyakit juga. Aku juga ingin berkeluarga. Ada anak dan istri yang mencintaiku secara tulus.”
Aku kini sudah 25 tahun. Aku yang dikenal sebagai lelaki penghibur bagi siapa saja yang bisa membayarku, telah membawaku tak kenal cinta yang tulus dari seorang wanita.
“So, what are you waiting for?” tanya Heidi.
“Cewek mana yang mau kalau tahu latar belakang ku begini?” keraguanku terungkaplah sudah.
“Kalau kamu punya niat baik, kamu juga harus memulainya dengan baik. Nah, setelah itu, baru dapat apa yang kamu mau. Kamu harus menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan yang kamu hadapi, Sutra.”
Bagiku, Heidi adalah petualang hidup. Kadangkala, dibalik sikap tomboinya, filosofi hidupnya boleh juga diacungi jempol. Bisa dipertanggung jawabkan, itu istilah yang dia pakai. Dia berani berbuat, berani gagal dan berani mencoba. Toleransinya juga tinggi. Walau dia bisa bersahabat denganku, tapi menurutnya, kehidupanku harus mau dirubah ke arah yang lebih baik dan menentramkan hati. Dia bisa merasakan, kadangkala aku merasa terbebani juga dengan jalan hidup yang aku lakoni saat ini.
“Hed, kira-kira bagaimana reaksi perempuan yang mau aku lamar jika tahu siapa aku?”
“Hmmm...ga tahu juga. Begini deh, kita bersandiwara saja yuk. Anggap aku cewek tersebut. Aku akan berusaha memberikan gambarannya ke kamu gitu. But, what’s your type anyway? Bad...or good girl?” Sambil tertawa ia menggodaku.
Sialan! Kenapa Heidi tanya yang aneh-aneh sih?
Mengkerutlah wajahku sekilas dibuatnya. Kurang asem.
“Kalau aku jatuh cinta dengan cewek yang mengerti dan menerima latar belakangku, kayaknya aku ga perlu bantuan kamu dong,” jawabku ketus. Mengkerut lagi raut mukaku. Tapi dia ga peduli, senyum usilnya masih menggantung disudut bibir-bibirnya yang yang dilapisi lipgloss.
“Idih..begitu saja marah? Oke, dari mana kita mulai? Pretend, I’m clueless about you. C’mon try me, buddy.”
Lalu dialog singkat yang tak selesai meluncur siang itu di sela-sela makan siang yang aku buat. Aku membuat menu diet ala Sutra. Banyak rebusan sayur dan buah segar. Karena aku terbiasa makan seadanya sejak dulu, makananku terbiasa biasa-biasa saja. Heidi sering mengkritikku karena aku sering mentraktirnya makan makanan bebas lemak. Hmmm...alangkah tersiksanya dia! Tapi itu bagus buat tubuh. Lebih sehat kan?
“Ganti namaku dulu. Siapa ya? Hmmm....,” dengan semangat 45 dia menerawangi langit-langit ruang makan di rumahku, sambil membetulkan duduknya menjadi lebih anggun. Kenapa juga dia harus norak begitu sih? Sebal aku dibuatnya. Tapi...memang dia usil sejak orok, mau bilang apa? Yah, aku terima saja.
Mukanya lucu. Bibir manyun sambil berpikir, pakai ketuk-ketuk jidat segala. Serius banget sih, pikirku. Tapi, nama siapa yang tepat untuknya ya?
Setelah beberapa menit berlalu, nama itu muncul juga.
“Aha! Alicia! Itu nama yang bagus sekali!” teriakku mengagetkannya.
“Huh, mentang-mentang suka dengan Alicia Keys, penyanyi Afro-Amerika yang cantik itu. Kamu memuji atau mengejek aku nih?”
Kena bantunya. Wajahnya kini mengkerut. Aku tertawa saja.
“Eh, sabar dong. Memang rambut kamu pendek tapi tetap manis kok kayak Alicia Keys. Cuma dia feminin dan sexi. Suaranya Ok, lagunya asyik...,” belum selesai aku bicara.
“Eh, kamu payah! Aku mau tampil sexi juga bisa.

      Si Roni dan Anjas, temanku, melototin aku saja setiap aku dandan pas pergi ke kantor. Padahal belum apa-apa tuh. Pakai kaos oblong dan jeans! Bagaimana kalau aku pakai gaun? Buka-bukaan kayak si Alicia ‘gantungan kunci’ favorit kamu itu. Kamu bakal tidak bisa tidur mikirin aku! Kamu bakal.....” aku potong kata-katanya yang tak kunjung usai itu.
“Stop! Stop! Ok deh, aku percaya...hehehe...ternyata keperempuanan kamu masih tinggi juga. Jadi si Roni dan Anjas naksir kamu nih?” godaku.
Roni itu dulu teman kampusnya dan Anjas teman kerjanya, merangkap saingannya. Aku tidak tahu tipe cowok yang disukai Heidi karena sampai sekarang dia belum memutuskan siapa yang pas jadi pacarnya. Katanya kalau pikirannya sudah lebih terbuka, dia mau cari calon suami saja. Tidak cari pacar katanya, karena pacar sering merepotkan, suka melarang, mengatur, padahal belum jadi suami. Ribet. Pikirku, jelas saja, cewek tomboi yang suka kebebasan begini, mana mau ada yang mengatur-ngaturnya.

                                                               ** Continue to part 6 **

No comments: