Nah, ntah sepert apa lelaki impiannya. Setiap tipe cowok pasti dipujinya. Katanya, jangan cari jeleknya, nanti maunya nyela mulu.
Ah, kadang dia penuh rahasia menurutku.
“Udah deh, urusan romance ku tidak usah kamu pusingin. Kalau sudah waktunya, aku pasti sudah siaplah. Pasti kamu tahu juga.”
“Ok, tapi yang pasti, cowok kayak aku ga masuk kategori kamu kan?” tanyaku tiba-tiba ingin tahu.
Dia ga jawab, diam, hanya memandangiku tersenyum usil.
“Mau tahu jawaban yang wajar atau yang shocking?” tantangnya.
Halaah...ribet. Teka teki segala. Segera aku alihkan obrolan yang keluar jalur ini ke relnya. Cewek satu ini mulai menggelitik naluri dan kepenasaranku. Biarlah itu tak terjawab. Paling tidak hingga kini.
“Well, katanya mau bantu aku. Udah deh, mau ga jadi Alicia?”
Heidi mengangguk tanda setuju. Segera aku menarik nafas..and...go!
“Alicia, apakah kamu mencintaiku?”
“Sangat, mas Sutra.”
“Sungguh?”
“Yes, cross my heart.”
Ia mengatakannya sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
“Tapi aku belum mengatakan siapa sebenarnya aku?”
“Kamu meragukan kesetianku, mas? Kamu takut aku tidak bisa menerimamu?”
Tak kuasa, mata kami beradu pandang. Aduh! Grogi aku! Aku mencoba kembali fokus pada tujuan dialog ini berlangsung. Alicia...eh, Heidi, kembali mengatur duduknya dan membetulkan rambutnya yang tidak kusut itu.
***
Namun, tak lama kemudian....hahahhaha...hahahaha...tawa kami membahana di ruang makan bernuansa hijau tersebut.
Hahaha...hahaha...Hahahaha...
Serbetpun melayang ke muka kami berdua karena saling lempar. Aku geli. Dia juga geli. Rasanya dialog tadi tak bisa diteruskan.
Mbok Oti yang dari tadi di dapur memasak, tak urung ikut keluar dan terbengong-bengong melihat kami berdua tertawa bergulingan di karpet depan TV sebelah meja makan. Kenapa jadi serba lucu dan kikuk begini? Mengalahkan Srimulat grup lawak kesukaan kami berdua.
***
“Sutra, kenapa wajah kamu jadi serius begitu? Ga tahan aku melihatnya,” Hed terpingkal-pingkal memegang perutnya.
“Heidi, kamu payah! Ga bisa serius sedikiiitt... saja? Aku ga mau lagi!”
Memerah wajahku. Malu. Tengsin abis.“ Ga mau!,” ulangku.
“Sutra...mas Sutra. Alicia menunggumu nih.”
Dia masih menggodaku. Payah!
“Ah, kamu. Ga serius ah!”
“Kali ini aku serius. Please, can we repeat it? Once more!”
Aku tahu dia masih menahan tawanya. Tapi aku tak sanggup meneruskan dialog pura-pura ini. Lebih baik kami melanjutkan makan saja.
Aku ambil remote TV ku, kustel berita terkini. Aku ingin segera melupakan momen konyol yang barusan terjadi. Ah, begonya aku, mau saja disuruh pura-pura ngomong cinta sama si ratu usil Heidi. Sengaja aku diam pura-pura konsentrasi pada berita yang sedang disiarkan...lagi-lagi mba Vivi pembaca beritanya. Tuh kan, aku atau dia sih sebenarnya yang saling membayangi? Kebetulan ini selalu terjadi. Kenapa hanya dia yang sering aku lihat? Apa tidak ada anchor yg lain? Tentunya ada, cuma kami memang seperti bayangan yang selalu mendampingi setiap aku nyalakan stasiun TV berita tersebut. Ga apa-apalah. Dia kan cantik, aku juga ganteng...hehehehe...aku sempat lupa dengan kejadian konyol dengan Heidi. Aku tersenyum merasa terhibur.
Heidi menghampiriku sambil membawakan buah untuk ku.
“Mau?” katanya.

***
Heidi dan aku ikut terbenam dengan berita panas siang itu.
“Mending kita nonton berita ya? Dari pada.....” aku segera memotong kata-katanya.
“Sudah, ga perlu diteruskan.”
Kupikir ini bukan ide bagus berpura-pura melamar Alicia, alias Heidi, si tomboi yang mengesalkan itu.
“Benar nih, sampai di sini saja?” Heidi bertanya. Melunak. Dia tahu aku tengsin abis.
Aku mengangguk pura-pura cuek.
Ujarnya lagi, “Ya sudah kalau begitu.”
“Ga usah pakai sandiwara begini deh. Kamu share saja pendapatmu ke aku,” kilahku masih menutup malu. Lalu ia ambil remote dari tanganku. Dia setel Silent. Nah, dia memaksaku untuk mendengarkannya kali ini. Baiklah.
“Yah, Ok... kalau begitu. Menurutku sih, yang pasti tidak banyak yang maklum atau yang menerima kamu begitu saja, dengan latar belakangmu yang sudah sangat ‘lihai’ dan ‘berpengalaman’ dengan berbagai perempuan,” papar Heidi.
“Hush! Udah, jangan ceramah dong!”
“Ini baru mau masuk ke intinya. Ga sabaran nih orang.”
“Teruskan,” kataku. Kali ini kembali aku menatapnya. Dengan perasaan yang lebih ringan.
“Ga semua orang dapat menerima kamu dengan lapang dada, itu pasti. Tapi, selagi kamu melakukan hal baik dan meniggalkan yang buruk, Tuhan akan kasih jalan deh.”
“Jadi tobat dulu ya?”
“Itu menurut pendapatku. Insya Allah, kalau kamu benar-benar ingin keluar dari situasimu sekarang, ya cari kerjaan baru, gitu. Aku yakin pasti ada seorang wanita terbaik yang sesuai buat kamu. Jodoh kamu.”
“Ooohhh, begitu ya Hed? Dalam juga cara berpikirmu.”
“Ya dong, siapa dulu? Heidi...hehehe...”
“Aku rasa, kamu tidak mencari cowok kayak aku dong buat suami?”
“Apa?” Matanya terbelalak.
“Eh, jangan kaget gitu, Non. Santai.”
“Eh, iya...ngagetin memang.” Dia tersipu malu.
“Tapi, benarkan?”
“Kayaknya kamu penasaran banget ya? Udah aku bilang, ga usah resah sama pilihanku. Tapi kalau aku harus jawab, aku juga melalui proses mencari kok.”
“Sudah melalui? Sudah punya gandengan dong sekarang? Siapa sih?”
“ Mau tahu?” ujarnya.
“Eh, stop! Stop! Sebagai teman saja aku sudah senang. Nanti aku pasti tahu juga kan? Terimakasih atas masukannya.”
*** Continue to part 7 ***