Search This Blog

Tuesday, May 10, 2011

Sutra Biru "6


    Nah, ntah sepert apa lelaki impiannya. Setiap tipe cowok pasti dipujinya. Katanya, jangan cari jeleknya, nanti maunya nyela mulu.
Ah, kadang dia penuh rahasia menurutku.
“Udah deh, urusan romance ku tidak usah kamu pusingin. Kalau sudah waktunya, aku pasti sudah siaplah. Pasti kamu tahu juga.”
“Ok, tapi yang pasti, cowok kayak aku ga masuk kategori kamu kan?” tanyaku tiba-tiba ingin tahu.
Dia ga jawab, diam, hanya memandangiku tersenyum usil.
“Mau tahu jawaban yang wajar atau yang shocking?” tantangnya.
Halaah...ribet. Teka teki segala. Segera aku alihkan obrolan yang keluar jalur ini ke relnya. Cewek satu ini mulai menggelitik naluri dan kepenasaranku. Biarlah itu tak terjawab. Paling tidak hingga kini.
“Well, katanya mau bantu aku. Udah deh, mau ga jadi Alicia?”
Heidi mengangguk tanda setuju. Segera aku menarik nafas..and...go!
“Alicia, apakah kamu mencintaiku?”
“Sangat, mas Sutra.”
“Sungguh?”
“Yes, cross my heart.”
Ia mengatakannya sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Tapi aku belum mengatakan siapa sebenarnya aku?”
“Kamu meragukan kesetianku, mas? Kamu takut aku tidak bisa menerimamu?”
Tak kuasa, mata kami beradu pandang. Aduh! Grogi aku! Aku mencoba kembali fokus pada tujuan dialog ini berlangsung. Alicia...eh, Heidi, kembali mengatur duduknya dan membetulkan rambutnya yang tidak kusut itu.
***

Namun, tak lama kemudian....hahahhaha...hahahaha...tawa kami membahana di ruang makan bernuansa hijau tersebut.
Hahaha...hahaha...Hahahaha...
Serbetpun melayang ke muka kami berdua karena saling lempar. Aku geli. Dia juga geli. Rasanya dialog tadi tak bisa diteruskan.
Mbok Oti yang dari tadi di dapur memasak, tak urung ikut keluar dan terbengong-bengong melihat kami berdua tertawa bergulingan di karpet depan TV sebelah meja makan. Kenapa jadi serba lucu dan kikuk begini? Mengalahkan Srimulat grup lawak kesukaan kami berdua.
***
“Sutra, kenapa wajah kamu jadi serius begitu? Ga tahan aku melihatnya,” Hed terpingkal-pingkal memegang perutnya.
“Heidi, kamu payah! Ga bisa serius sedikiiitt... saja? Aku ga mau lagi!”
Memerah wajahku. Malu. Tengsin abis.“ Ga mau!,” ulangku.
Sutra...mas Sutra. Alicia menunggumu nih.”
Dia masih menggodaku. Payah!
“Ah, kamu. Ga serius ah!”
“Kali ini aku serius. Please, can we repeat it? Once more!”
Aku tahu dia masih menahan tawanya. Tapi aku tak sanggup meneruskan dialog pura-pura ini. Lebih baik kami melanjutkan makan saja.
Aku ambil remote TV ku, kustel berita terkini. Aku ingin segera melupakan momen konyol yang barusan terjadi. Ah, begonya aku, mau saja disuruh pura-pura ngomong cinta sama si ratu usil Heidi. Sengaja aku diam pura-pura konsentrasi pada berita yang sedang disiarkan...lagi-lagi mba Vivi pembaca beritanya. Tuh kan, aku atau dia sih sebenarnya yang saling membayangi? Kebetulan ini selalu terjadi. Kenapa hanya dia yang sering aku lihat? Apa tidak ada anchor yg lain? Tentunya ada, cuma kami memang seperti bayangan yang selalu mendampingi setiap aku nyalakan stasiun TV berita tersebut. Ga apa-apalah. Dia kan cantik, aku juga ganteng...hehehehe...aku sempat lupa dengan kejadian konyol dengan Heidi. Aku tersenyum merasa terhibur.
Heidi menghampiriku sambil membawakan buah untuk ku.
“Mau?” katanya.
Aku ambil sepotong semangka. Ku kunyah tanpa melihat wajahnya. Ku luruskan mataku memandang Vivi Aleyda di layar kaca. Sesekali aku mengomentari kejadian yang yang sedang berlangsung yang kulihat di layar TV. Kasus korupsi yang menyangkut KPK – Polri - Bank Century dan Facebook telah mewarnai berita-berita dan diskusi atau dialog di stasiun-stasiun TV nasional. Padahal belum 100 hari pelantikan presiden tuh.
***
Heidi dan aku ikut terbenam dengan berita panas siang itu.
“Mending kita nonton berita ya? Dari pada.....” aku segera memotong kata-katanya.
“Sudah, ga perlu diteruskan.”
Kupikir ini bukan ide bagus berpura-pura melamar Alicia, alias Heidi, si tomboi yang mengesalkan itu.
“Benar nih, sampai di sini saja?” Heidi bertanya. Melunak. Dia tahu aku tengsin abis.
Aku mengangguk pura-pura cuek.
Ujarnya lagi, “Ya sudah kalau begitu.”
“Ga usah pakai sandiwara begini deh. Kamu share saja pendapatmu ke aku,” kilahku masih menutup malu. Lalu ia ambil remote dari tanganku. Dia setel Silent. Nah, dia memaksaku untuk mendengarkannya kali ini. Baiklah.
“Yah, Ok... kalau begitu. Menurutku sih, yang pasti tidak banyak yang maklum atau yang menerima kamu begitu saja, dengan latar belakangmu yang sudah sangat ‘lihai’ dan ‘berpengalaman’ dengan berbagai perempuan,” papar Heidi.
“Hush! Udah, jangan ceramah dong!”
“Ini baru mau masuk ke intinya. Ga sabaran nih orang.”
“Teruskan,” kataku. Kali ini kembali aku menatapnya. Dengan perasaan yang lebih ringan.
“Ga semua orang dapat menerima kamu dengan lapang dada, itu pasti. Tapi, selagi kamu melakukan hal baik dan meniggalkan yang buruk, Tuhan akan kasih jalan deh.”
“Jadi tobat dulu ya?”
“Itu menurut pendapatku. Insya Allah, kalau kamu benar-benar ingin keluar dari situasimu sekarang, ya cari kerjaan baru, gitu. Aku yakin pasti ada seorang wanita terbaik yang sesuai buat kamu. Jodoh kamu.”
“Ooohhh, begitu ya Hed? Dalam juga cara berpikirmu.”
“Ya dong, siapa dulu? Heidi...hehehe...”
“Aku rasa, kamu tidak mencari cowok kayak aku dong buat suami?”
“Apa?” Matanya terbelalak.
“Eh, jangan kaget gitu, Non. Santai.”
“Eh, iya...ngagetin memang.” Dia tersipu malu.
“Tapi, benarkan?”
“Kayaknya kamu penasaran banget ya? Udah aku bilang, ga usah resah sama pilihanku. Tapi kalau aku harus jawab, aku juga melalui proses mencari kok.”
“Sudah melalui? Sudah punya gandengan dong sekarang? Siapa sih?”
“ Mau tahu?” ujarnya.
“Eh, stop! Stop! Sebagai teman saja aku sudah senang. Nanti aku pasti tahu juga kan? Terimakasih atas masukannya.”

                                                *** Continue to part 7 ***

Thursday, May 5, 2011

Sisheyna One Day


         Sisheyna just moved from Tokyo a week ago. Her father is Indonesian and her mother is Japanese. They are very bussy working. Now she goes to an International School in South Jakarta, grade 5. She is very smart girl. She can speak English and Japanese very well. But, she doesn’t like to sweat her self with bodily-moving activities. She is very fan of playing computer game. She never misses her time to play game where ever she is. She plays game in her car with her cellphone. She playes it in her bedroom with her computer. Something bad about her hobby is she doesn’t like to mingle with her friends. Her teachers ask her to play with her friends so she will have a lot of new friends in Jakarta. But sisheyna keeps her self away from them. She can’t let her self go from her electronic games.

One day, Sisheyna feels sad because her friends don’t want to talk with her anymore. The teachers ask all students not to use cellphone during the school hours. Her friends are happy playing in the school yard. They are laughing. They are running and catching each other. When they are finished they go to canteen and eat together. They look tired, but they seem very excited.
One day after that, sisheyna comes to one of her friends and says “Hi Monica, can I join to play baseball wity you, girls? It seems fun.”
Monica and other friends are surprised with her request. “Are you sure, you want to play with us? We’ll play outdoor. We play baseball. It will sweat you,” Monica replies.
“Yes, I am pretty sure. I always play baseball in my computer game, now I’d like to try and practice it by my self. Would you teach me how to play it?” Sisheyna is hoping.
“Hhmmm...I don’t know,” Monica says again. “Let me ask the other pals if they want to play with you.”
“OK, no problem. I know I never got along with other friends, but now I really want to play with them. I dont have friends here, that’s why I always play game with my cellphone. I feel worried if you don’t want to play with me,” Sisheyna tells about her feeling to Monica.
Not long after that, Monica asks other friends to accept sisheyna in their team and and teach her how to play baseball. At first, they all feel ignorant, but since Sisheyna is very enthusiastic in participating in the baseball game, they finally can accept her.
Since that day, Sisheyna is not addicted to the cellphone or computer game anymore. She plays it once in a while. Sometimes she invites Monica and other classmates to come and play in her house or do other activities together. She also finds a joy without her electronic game.

Tuesday, May 3, 2011

Sutra Biru "5

       Dua hari lalu, seorang teman memperkenalkanku dengan seorang wanita cantik, kaya dan anggun. Namun dia sedang kalut karena hidupnya terasa hampa. Suaminya terlalu sibuk dengan segala urusannya. Anak-anaknya sudah besar semua dan mandiri. Ia sendiri bosan dengan teman-temannya yang suka ngumpul untuk bergosip, arisan barang-barang mewah, yang menurutnya tidak membawa dia pada kedamaian yang ia cari. Dia membutuhkan seseorang yang bisa membahagiakannya. Nah, temanku tadi mengenalkanku padanya untuk menemani si nyonya anggun tersebut. Namun, ia memiliki obsesi pada yang kuning-kuning. Dia ingin bertemu denganku pertama kali dan menjemputku di depan Plaza Dago dengan syarat aku memakai kostum kuning. Apapun yang aku kenakan ditubuhku dan apapun yang kubawa harus berwarna kuning terang dan kuning polos.
Walaupun aku sering bertemu orang-orang dengan kunikan-keunikan yang aneh, tapi warna kuning ini benar-benar menarik perhatian orang lain disekitarku, di bawah hujan deras pula. Aku sadari itu. Tapi inilah pekerjaanku, memenuhi kemauan orang lain dan membuatnya merasa seperti raja atau ratu. I give my personal service.

Itulah awal persahabatan kami. Sejak itu, Heidi tidak pernah bercerita tentang aku lagi (tentang orang lain sih, peduli amat). Aku tersenyum. Padahal banyak penggemarnya yang memintanya bercerita tentang cowok itu lagi.
Si Darwein, teman yang digantikannya, sempat mogok bicara dengannya gara-gara banyak penggemarnya meminta Heidi kembali mengudara pagi hari. Namun pak Daniel Santoso, direkturnya, terkesan dan memujinya. Dia memberikan bonus voucer belanja di Plaza Mogahari yang terkenal itu. Lalu dia mengajakku dan meminta maaf padaku. Saat itu aku merasa ia dapat menjadi sahabatku karena aku tidak punya banyak teman, apalagi seorang sahabat.

Waktu itu, seperti biasa seakan-akan dua sejoli, setiap jam 11 siang, hari minggu, aku menjemputnya di kosnya jalan Tubagus Ismail. Ia sebagai anak kos dan aku yatim piatu. Persahabatan yang terjalin diantara kami sangatlah berharga.
“Hebat ya, kamu sudah punya rumah sendiri,” Hed menungkapkan kekagumannya atas hasil pekerjaanku selama empat tahun ini. “Sempat kuliah lagi...jurusan apa?”
“Diploma. Manajemen.”
“Bagus juga.”
“Kamu kan tahu aku sudah tidak punya keluarga lagi. Sejak ortu meninggal, keluarga besarku mulai menjauh. Aku tidak punya kakak atau adik. Bahkan rumah peninggalan ortu diambil alih sama pamanku,” curhatku ke Hed.
“By the way, aku rasa, secara materi kamu sudah mapan. Jadi ada niat mau pindah profesi ga?” dia penasaran.
Heidi memang berharap aku segera hidup dan bekerja normal. Tidak seperti sekarang, dengan ketampanan dan daya tarikku, aku menjadi penghibur bagi siapapun yang menyewaku. Walau sampai saat ini, aku masih menjaga hubungan yang baik dengan semua ex-pelangganku. Dia pernah mengajakku membuka usaha bersama, namun aku masih saja menolaknya secara halus.
Aku selalu bisa bicara terbuka dengannya setelah beberapa waktu kedekatan kami sebagai sahabat. Tidak ada yang aku sembunyikan dari dia, kecuali satu hal.
Call me Alicia. 
“Heidi...Heidiku yang cantik. Kamu terus terang banget ya orangnya? Jujur sih aku capek juga kerja begini. Khawatir kena penyakit juga. Aku juga ingin berkeluarga. Ada anak dan istri yang mencintaiku secara tulus.”
Aku kini sudah 25 tahun. Aku yang dikenal sebagai lelaki penghibur bagi siapa saja yang bisa membayarku, telah membawaku tak kenal cinta yang tulus dari seorang wanita.
“So, what are you waiting for?” tanya Heidi.
“Cewek mana yang mau kalau tahu latar belakang ku begini?” keraguanku terungkaplah sudah.
“Kalau kamu punya niat baik, kamu juga harus memulainya dengan baik. Nah, setelah itu, baru dapat apa yang kamu mau. Kamu harus menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan yang kamu hadapi, Sutra.”
Bagiku, Heidi adalah petualang hidup. Kadangkala, dibalik sikap tomboinya, filosofi hidupnya boleh juga diacungi jempol. Bisa dipertanggung jawabkan, itu istilah yang dia pakai. Dia berani berbuat, berani gagal dan berani mencoba. Toleransinya juga tinggi. Walau dia bisa bersahabat denganku, tapi menurutnya, kehidupanku harus mau dirubah ke arah yang lebih baik dan menentramkan hati. Dia bisa merasakan, kadangkala aku merasa terbebani juga dengan jalan hidup yang aku lakoni saat ini.
“Hed, kira-kira bagaimana reaksi perempuan yang mau aku lamar jika tahu siapa aku?”
“Hmmm...ga tahu juga. Begini deh, kita bersandiwara saja yuk. Anggap aku cewek tersebut. Aku akan berusaha memberikan gambarannya ke kamu gitu. But, what’s your type anyway? Bad...or good girl?” Sambil tertawa ia menggodaku.
Sialan! Kenapa Heidi tanya yang aneh-aneh sih?
Mengkerutlah wajahku sekilas dibuatnya. Kurang asem.
“Kalau aku jatuh cinta dengan cewek yang mengerti dan menerima latar belakangku, kayaknya aku ga perlu bantuan kamu dong,” jawabku ketus. Mengkerut lagi raut mukaku. Tapi dia ga peduli, senyum usilnya masih menggantung disudut bibir-bibirnya yang yang dilapisi lipgloss.
“Idih..begitu saja marah? Oke, dari mana kita mulai? Pretend, I’m clueless about you. C’mon try me, buddy.”
Lalu dialog singkat yang tak selesai meluncur siang itu di sela-sela makan siang yang aku buat. Aku membuat menu diet ala Sutra. Banyak rebusan sayur dan buah segar. Karena aku terbiasa makan seadanya sejak dulu, makananku terbiasa biasa-biasa saja. Heidi sering mengkritikku karena aku sering mentraktirnya makan makanan bebas lemak. Hmmm...alangkah tersiksanya dia! Tapi itu bagus buat tubuh. Lebih sehat kan?
“Ganti namaku dulu. Siapa ya? Hmmm....,” dengan semangat 45 dia menerawangi langit-langit ruang makan di rumahku, sambil membetulkan duduknya menjadi lebih anggun. Kenapa juga dia harus norak begitu sih? Sebal aku dibuatnya. Tapi...memang dia usil sejak orok, mau bilang apa? Yah, aku terima saja.
Mukanya lucu. Bibir manyun sambil berpikir, pakai ketuk-ketuk jidat segala. Serius banget sih, pikirku. Tapi, nama siapa yang tepat untuknya ya?
Setelah beberapa menit berlalu, nama itu muncul juga.
“Aha! Alicia! Itu nama yang bagus sekali!” teriakku mengagetkannya.
“Huh, mentang-mentang suka dengan Alicia Keys, penyanyi Afro-Amerika yang cantik itu. Kamu memuji atau mengejek aku nih?”
Kena bantunya. Wajahnya kini mengkerut. Aku tertawa saja.
“Eh, sabar dong. Memang rambut kamu pendek tapi tetap manis kok kayak Alicia Keys. Cuma dia feminin dan sexi. Suaranya Ok, lagunya asyik...,” belum selesai aku bicara.
“Eh, kamu payah! Aku mau tampil sexi juga bisa.

      Si Roni dan Anjas, temanku, melototin aku saja setiap aku dandan pas pergi ke kantor. Padahal belum apa-apa tuh. Pakai kaos oblong dan jeans! Bagaimana kalau aku pakai gaun? Buka-bukaan kayak si Alicia ‘gantungan kunci’ favorit kamu itu. Kamu bakal tidak bisa tidur mikirin aku! Kamu bakal.....” aku potong kata-katanya yang tak kunjung usai itu.
“Stop! Stop! Ok deh, aku percaya...hehehe...ternyata keperempuanan kamu masih tinggi juga. Jadi si Roni dan Anjas naksir kamu nih?” godaku.
Roni itu dulu teman kampusnya dan Anjas teman kerjanya, merangkap saingannya. Aku tidak tahu tipe cowok yang disukai Heidi karena sampai sekarang dia belum memutuskan siapa yang pas jadi pacarnya. Katanya kalau pikirannya sudah lebih terbuka, dia mau cari calon suami saja. Tidak cari pacar katanya, karena pacar sering merepotkan, suka melarang, mengatur, padahal belum jadi suami. Ribet. Pikirku, jelas saja, cewek tomboi yang suka kebebasan begini, mana mau ada yang mengatur-ngaturnya.

                                                               ** Continue to part 6 **

Monday, May 2, 2011

Sutra Biru "4

   Dua minggu kemudian aku melupakannya. Siarannya masih kudengar. Namun saat dia harus manggantikan temannya untuk siaran pada pagi hari jam 6, dia mengundang pendengarnya untuk share pengalaman lucu mereka yang berhubungan dengan kostum. Dan saat itulah aku merasa harus menghubunginya.
Bagaimana tidak? Ia bercerita on air kalau dia ketemu seorang cowok necis, berkostum kuning di bawah payung yang juga kuning! Di bawah derasnya guyuran air hujan. Deras sekali. Bahkan dia memperkirakan rata-rata perdetik derasnya air hujan yang jatuh ke tanah. Dan sialnya, pendengarnya turut memberikan komentar tentang apa kemungkinan motivasi dan tujuan cowok tersebut berkostum demikian.
Seorang penelpon bernama Susi, mahasiswi desainer sekolah fashion mengatakan, “Wah, itu penampilan yang menakjubkan. Sebagai calon desainer, warna-warna cerah menggambarkan personality yang terbuka dan periang. Mungkin cowok itu akan menghadiri suatu pesta yang mewajibkan tamunya harus berpakaian yg sesuai dengan karakter personalitinya. By the way, si cowok itu cakep ga, Heidi? Apakah dia cukup confident dengan gayanya?”
Seorang pemuda bernama Anggoro, penikmat pesta, mengatakan, “Pasti orang yang berkostum kuning itu suka makan permen. Dulu, waktu saya kecil, permen lolipop warna kuning begitu terlihat sangat lezat. Nah, mungkin saja warna kuning dimotivasi dengan hasrat nikmat dan enak yang timbul dari permen favoritnya.”
Bahkan Ade, seorang yang sedang menyetir mobil menuju kantornya, pas melewati depan Plaza tersebut ikut berkomentar, “Mba Heidi, saya lagi di tempat cowok berbaju kuning tersebut berdiri nih. Wah, saya bisa bayangkan situasinya. Di bawah hujan deras, memakai kostum dan payung kuning yang mencolok, pasti eye catching banget dong....hehehehhe... Ngapain dia disitu ya? Sedang menunggu seseorang kah? Atau sedang ngeceng aja? Atau dia seseorang yang aneh? Saya rasa dia mencoba mencari perhatian orang lain dengan berdiri di situ dan terlihat mencolok. Alasannya pergi ke pesta itu cuma mengada-ngada.” Bla..bla...bla...

Gila! 

Mereka semua sedang membicarakan aku! Lucu kali bagi mereka. Tapi aku kesal mendengarnya. Namun, tetap saja tak aku matikan radioku. Sebenarnya ketika mau keluar rumah pada saat itu, aku juga merasa agak risih dengan segala warna kuning yg menaungi tubuhku. Tapi ini adalah pekerjaanku, memuaskan pelanggan yang telah membayarku mahal...untuk segala perhatian dan pelayanan yang aku berikan.
Biasanya aku begitu tertutup mengungkapkan apa yang aku pikirkan dan alami, apalagi untuk masalah pribadiku, namun si Heidi ini telah menarikku keluar dari lubang persembunyianku.
Oke deh, pikirku. Selanjutnya aku menelponnya. On air. Aku akui kalau cowok itu adalah aku. Nekat juga ngaku-ngaku. Tentu dengan nama samaran, aku katakan mengapa aku lakukan itu. 


Tapi yang ini cerita jujur. Tentang seorang tante yang memesanku ingin bertemu denganku dengan kostum dan payung kuning. Aduh! Tak kusangka, pendengar radionya malah ingin berkenalan denganku.
Begini kisahnya ku tuturkan on air....


                                                                    ** Continue to part 5 **